Dalam lisan terucap Taqabbalallahu minnaa wa minkum.
Saudara-saudaraku Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberi
kesempatan dan kekuatan untuk menyelesaikan puasa Ramadhan. Mudah-mudahan
puasa sebulan penuh yang telah kita laksanakan dapat mengantarkan kita menjadi
kaum yang bertakwa sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah
[2]: 183.
Puasa Ramadhan memang telah kita lewati. Idul Fitri pun telah
kita lalui. Namun, tentu tetap penting merenungi: Sukseskah puasa Ramadhan yang
telah kita jalani? Berhasilkah kita wujudkan takwa sebagai “buah” dari puasa
Ramadhan yang telah kita jalani?
Pantaskah kita kemarin merayakan “Hari Kemenangan”, yakni Idul
Fitri? Menangkah kita dalam melawan hawa nafsu dan godaan setan selama
Ramadhan, juga selepas Idul Fitri? Jika jawabannya “Ya”, tentu itu yang kita
harapkan. Namun, jika jawabannya “Tidak”, tentu puasa Ramadhan kita yang lalu
sia-sia belaka. Wahai saudara-saudaraku ada seorang ulama yang menyatakan, Laysa
al-‘id li man labisa al-jadid walaqin al-id li man taqwahu yazid (Idul
Fitri bukanlah milik orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru.
Namun, Idul Fitri adalah milik orang yang ketakwaannya bertambah).
Pertanyaannya: Apakah ketakwaan kita bertambah selepas puasa
Ramadhan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu harus mengetahui
hakikat takwa sekaligus tanda-tanda atau ciri-cirinya.
Imam ath-Thabrani, saat menafsirkan QS Al-Baqarah [2]: 2,
mengutip sejumlah pernyataan tentang hakikat orang-orang bertakwa. Al-Hasan
misalnya, menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap
perkara apa saja yang Allah haramkan atas mereka dan melaksanakan apa saja
kewajiban yang Allah titahkan atas mereka.”
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, sebagaimana dikutip Imam
as-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsur, berkata, “Takwa kepada Allah itu bukanlah
berpuasa pada siang hari, shalat pada malam hari dan memadukan keduanya. Namun,
takwa kepada allah itu adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah haramkan
dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan.”
Itulah takwa. Itulah yang diharapkan terwujud pada diri setiap
muslim setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Mereka senantiasa menaati
syariah-Nya secara kaffah atas dasar keimanan.
Orang yang bertakwa tidak akan berani minum khamr misalnya,
karena Allah SWT telah mengharamkan khamr (lihat QS. Al-Maidah [5]: 90-91).
Namun melihat kondisi yang ada saat ini, khamr dilegalkan dalam kehidupan kita,
sehingga banyak saudara kita yang terjerumus dalam perbuatan buruk tersebut.
Ironisnya, arus besar yang berkembang di DPR, peredaran minuman beralkohol
hanya akan diatur dan dikendalikan, bukan dilarang dan diberantas.
Orang bertakwa juga tidak akan berani mendekati zina, karena
Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS.
Al-Isro’ [17]: 32).” Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi
sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani menyimpulkan
bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini
berarti memandang, berjabat tangan, berduaan, pacaran dan bentuk perbuatan lain
yang dilakukan dengan lawan jenis, karena hal itu sebagai perantara kepada zina
adalah suatu hal yang terlarang.
Permisalan diatas merupakan salah satu larangan dari Allah SWT.
Disamping itu, orang bertakwa harus menaati segala perintah-Nya, misalnya Allah
memerintahkan kepada wanita untuk menutup auratnya, sebagaimana firmannya dalam
QS. Al Ahzab [33]: 59 dan QS. An Nuur [24]: 31. Begitupun dengan laki-laki diperintahkan untuk menundukkan
pandangan ketika melihat lawan jenis (lihat QS. An Nuur [24]: 30).
Laki-laki hanya boleh melihat apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat
yaitu pada istri dan mahromnya.
Wahai saudara-saudaraku itu baru sebagian kecil yang harus kita
taati, baik itu perintah maupun larangan-Nya. Masih banyak lagi yang perlu kita
taati, apakah kita akan mengabaikannya begitu saja? Atau hanya menjalankan
sebagian perintah-Nya dan menjauhi sebagian larangan-Nya? Jika “Ya”, Apa ini
sebagai tanda takwa kita kepada Allah?
Cobalah kita renungkan, begitu banyak nikmat Allah yang
diberikan kepada kita dan Allah berikan semuanya dengan gratis, diantaranya
nikmat bernapas yang diperoleh dengan gratis karena dalam sehari kita menghirup
oksigen 2.880 liter sedangkan tabung di rumah sakit harganya berkisar
Rp30.000/liter. Begitu pula nikmat aliran darah yang tidak perlu membayar
sepeserpun untuk membayar darah yang dipompa jantung kita. Ada lagi nikmat
penglihatan, nikmatnya waktu, nikmat diberikan anggota tubuh yang sempurna, dan
masih banyak lagi nikmat lainnya yang tak terhitung oleh kita. Lantas apakah yang
telah Allah berikan kepada kita ini, kita balas dengan maksiat, melanggar
perintahnya, jauh dari ketakwaan, mengabaikan larangannya, bahkan mencampakkan
hukum-hukum-Nya.
Apa itu sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah Allah
berikan?
Marilah kita mensyukuri nikmat Allah SWT dalam bentuk ketaatan
kita dengan menjalankan segala apa yang diperintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya. Karena beriman dan bertakwa merupakan kunci datangnya keberkahan
dari Allah SWT.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
EmoticonEmoticon