Rabu, 03 Agustus 2016

MENSYUKURI NIKMAT DENGAN BERTAKWA

Dalam lisan terucap Taqabbalallahu minnaa wa minkum. Saudara-saudaraku Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberi kesempatan dan kekuatan untuk menyelesaikan puasa Ramadhan. Mudah-mudahan puasa sebulan penuh yang telah kita laksanakan dapat mengantarkan kita menjadi kaum yang bertakwa sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah [2]: 183.
Puasa Ramadhan memang telah kita lewati. Idul Fitri pun telah kita lalui. Namun, tentu tetap penting merenungi: Sukseskah puasa Ramadhan yang telah kita jalani? Berhasilkah kita wujudkan takwa sebagai “buah” dari puasa Ramadhan yang telah kita jalani?
Pantaskah kita kemarin merayakan “Hari Kemenangan”, yakni Idul Fitri? Menangkah kita dalam melawan hawa nafsu dan godaan setan selama Ramadhan, juga selepas Idul Fitri? Jika jawabannya “Ya”, tentu itu yang kita harapkan. Namun, jika jawabannya “Tidak”, tentu puasa Ramadhan kita yang lalu sia-sia belaka. Wahai saudara-saudaraku ada seorang ulama yang menyatakan, Laysa al-‘id li man labisa al-jadid walaqin al-id li man taqwahu yazid (Idul Fitri bukanlah milik orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Namun, Idul Fitri adalah milik orang yang ketakwaannya bertambah).
Pertanyaannya: Apakah ketakwaan kita bertambah selepas puasa Ramadhan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu harus mengetahui hakikat takwa sekaligus tanda-tanda atau ciri-cirinya.
Imam ath-Thabrani, saat menafsirkan QS Al-Baqarah [2]: 2, mengutip sejumlah pernyataan tentang hakikat orang-orang bertakwa. Al-Hasan misalnya, menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang Allah haramkan atas mereka dan melaksanakan apa saja kewajiban yang Allah titahkan atas mereka.”
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, sebagaimana dikutip Imam as-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsur, berkata, “Takwa kepada Allah itu bukanlah berpuasa pada siang hari, shalat pada malam hari dan memadukan keduanya. Namun, takwa kepada allah itu adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan.” 
Itulah takwa. Itulah yang diharapkan terwujud pada diri setiap muslim setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Mereka senantiasa menaati syariah-Nya secara kaffah atas dasar keimanan.
Orang yang bertakwa tidak akan berani minum khamr misalnya, karena Allah SWT telah mengharamkan khamr (lihat QS. Al-Maidah [5]: 90-91). Namun melihat kondisi yang ada saat ini, khamr dilegalkan dalam kehidupan kita, sehingga banyak saudara kita yang terjerumus dalam perbuatan buruk tersebut. Ironisnya, arus besar yang berkembang di DPR, peredaran minuman beralkohol hanya akan diatur dan dikendalikan, bukan dilarang dan diberantas.
Orang bertakwa juga tidak akan berani mendekati zina, karena Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isro’ [17]: 32).” Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang. Asy Syaukani menyimpulkan bahwa setiap jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan, pacaran dan bentuk perbuatan lain yang dilakukan dengan lawan jenis, karena hal itu sebagai perantara kepada zina adalah suatu hal yang terlarang.
Permisalan diatas merupakan salah satu larangan dari Allah SWT. Disamping itu, orang bertakwa harus menaati segala perintah-Nya, misalnya Allah memerintahkan kepada wanita untuk menutup auratnya, sebagaimana firmannya dalam QS. Al Ahzab [33]: 59 dan QS. An Nuur [24]: 31. Begitupun dengan  laki-laki   diperintahkan   untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis (lihat QS. An Nuur [24]: 30). Laki-laki hanya boleh melihat apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat yaitu pada istri dan mahromnya.
Wahai saudara-saudaraku itu baru sebagian kecil yang harus kita taati, baik itu perintah maupun larangan-Nya. Masih banyak lagi yang perlu kita taati, apakah kita akan mengabaikannya begitu saja? Atau hanya menjalankan sebagian perintah-Nya dan menjauhi sebagian larangan-Nya? Jika “Ya”, Apa ini sebagai tanda takwa kita kepada Allah?
Cobalah kita renungkan, begitu banyak nikmat Allah yang diberikan kepada kita dan Allah berikan semuanya dengan gratis, diantaranya nikmat bernapas yang diperoleh dengan gratis karena dalam sehari kita menghirup oksigen 2.880 liter sedangkan tabung di rumah sakit harganya berkisar Rp30.000/liter. Begitu pula nikmat aliran darah yang tidak perlu membayar sepeserpun untuk membayar darah yang dipompa jantung kita. Ada lagi nikmat penglihatan, nikmatnya waktu, nikmat diberikan anggota tubuh yang sempurna, dan masih banyak lagi nikmat lainnya yang tak terhitung oleh kita. Lantas apakah yang telah Allah berikan kepada kita ini, kita balas dengan maksiat, melanggar perintahnya, jauh dari ketakwaan, mengabaikan larangannya, bahkan mencampakkan hukum-hukum-Nya.
Apa itu sebagai tanda syukur atas nikmat yang telah Allah berikan?
Marilah kita mensyukuri nikmat Allah SWT dalam bentuk ketaatan kita dengan menjalankan segala apa yang diperintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Karena beriman dan bertakwa merupakan kunci datangnya keberkahan dari Allah SWT.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]


EmoticonEmoticon