Jumat, 05 Agustus 2016

Islam Dapat Menyelesaikan Permasalahan Ekonomi, dan tentu bukan dengan Tax Amnesty


Hallo rekan mahasiswa/i seperjuangan dijalan islam, tentu kalian dengar dong tentang hot isue mengenai tax amnesty, kalian setuju atau tidak nih, tentang peraturan pemerintah mengenai pengampunan pajak, jika iya mengapa? dan jika tidak mengapa?, tapi jangan dijawab dulu sebelum baca buletin yang satu ini yah, J selamat membaca !! J

Pada tahun 2016 tepatnya di bulan juli ini ada  Pengampunan pajak (tax amnesty) adalah penghapusan pajak yang diberikan kepada wajib pajak yang selama ini belum pernah atau tidak sepenuhnya membayar pajak atas harta mereka baik berupa penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dalam jangka yang ditetapkan UU. Data dan informasi mereka juga wajib dirahasiakan pejabat terkait. Syaratnya, wajib pajak tersebut mau membayar uang tebusan. Nilai uang tebusan tersebut ditentukan berdasarkan nilai aset yang dilaporkan dikali dengan tarif tebusan yang ditetapkan UU. Selain itu, jika harta yang dilaporkan tersebut berada di luar negeri dan direpatriasi atau dibawa masuk ke Indonesia, maka harta tersebut dikenakan tarif repatriasi yang nilainya juga ditetapkan UU.


Mengejar Setoran

Meskipun masa pemberlakukan UU Pengampunan Pajak hanya berlaku sepanjang enam bulan pada tahun 2016, Pemerintah memperkirakan pendapatan yang dapat diraup dari kebijakan itu dapat mencapai Rp 165 triliun dan buktinya sampai saat ini saja pendapatan atas pengampunan pajak kurang dari 50 miliar. Adapun dana repatriasi yang diperkirakan masuk ke Indonesia dapat mencapai Rp 1.000 triliun. Pada APBN 2016, pendapatan pajak ditargetkan sebesar Rp 1,546,7 triliun. Tahun lalu, dari target penerimaan pajak sebesar Rp 1.469 triliun, yang tercapai hanya sebesar Rp 1.240 atau sebesar 85% dari target.

Manfaat lain yang diharapkan Pemerintah dari tax amnesty adalah masuknya dana penduduk Indonesia yang selama ini disimpan di luar negeri. Menurut McKensey, ada sekitar USD250 miliar atau sekitar Rp 3.250 triliun kekayaan orang-orang kaya Indonesia (High Net Worth Individuals) yang disimpan di luar negeri. Dari jumlah itu, USD200 disimpan di Singapura baik dalam bentuk real estate, deposito dan saham. Bank Indonesia dengan menggunakan data Global Financial Integrity: Illicit Financial Flows Report 2015, memperkirakan nilai dana yang tidak jelas sumbernya yang berasal dari Indonesia yang ditaruh di luar negeri mencapai Rp 3.147 triliun.Sekadar catatan, upaya untuk meningkatkan tax ratio ini merupakan salah satu bagian dari target Millenium Development Goals (MDGs) yang menjadi komitmen Pemerintah Indonesia bersama sejumlah negara.Meskipun demikian, tidak sedikit yang menyangsikan optimisme Pemerintah tersebut. Pasalnya, orang-orang yang mendapat pengampunan pajak, meskipun dibebaskan dari segala tuntutan yang terkait dengan pajak dan datanya dirahasiakan, mereka tidak dijamin dari tuntutan pidana atas tindakan kriminal yang menjadi sebab kepemilikan aset mereka. Padahal diperkirakan banyak dari dana-dana yang diparkir di luar negari tersebut berasal dari pendapatan ilegal seperti pendapatan yang diperoleh dari hasil korupsi, transaksi narkoba, kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, pertambangan ilegal, dan pembalakan hutan secara liar. Jika para penegak hukum dapat melacak sumber pendapatan tersebut maka wajib pajak pelapor dapat diseret ke meja hijau. Bagi para pemilik dana akan lebih aman menyimpan dana mereka di luar negeri terutama di negara-negara yang pajaknya rendah (tax haven) seperti Singapura. Di sisi lain, tax amnesty memberikan rasa ketidakadilan kepada para wajib pajak yang selama ini taat dalam membayar pajak. Kebijakan ini dapat memicu wajib pajak yang patuh untuk ikut mengemplang pajak dengan harapan bahwa suatu saat Pemerintah akan memberikan pengampunan kepada mereka. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia telah beberapa kali melakukan pengampunan pajak yakni pada tahun 1964, 1984 dan 2007.


Problem Kapitalisme

Di negera-negara Kapitalisme, pajak adalah pilar utama penerimaan negara terutama Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelum pasca reformasi hanya pajaka penjualan sekarang menjadi pajak pertambahan nilai yang dimna pajak dikenakan bukan atas penjualan barang atau jasa saja melainkan penyerahan atas suatu barang atau jasa juga pun ikut kena pajak, pendapatan perpajakan terhadap APBN mencapai sekitar 82% dari total penerimaan negara.. Di sisi lain, porsi pendapatan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti royalti pertambangan dan pendapatan BUMN terus turun.


Pandangan Islam

 Terdapat dalil yang melarang seluruh bentuk penarikan pajak yaitu sabda Rasulullah saw.:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini dan di bulan ini… (HR al-Bukhari Muslim).

Hadis ini menjadi dalil atas ketidakbolehan Pemerintah menarik pajak dalam membiayai penyelenggaraan negara. Negara hanya mengandalkan sumber-sumber pendapatan Baitul Mal telah ditetapkan oleh syariah seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, zakat (khusus untuk 8 asnaf), pendapatan dari harta milik umum dan harta milik negara dan sebagainya. Jika sumber-sumber tersebut dikelola dengan baik maka akan cukup untuk membiayai pengeluaran negara.Hanya saja, jika sumber pendapatan tersebut ternyata tidak mencukupi dalam membiayai pengeluaran yang bersifat wajib yang telah ditetapkan oleh syariah seperti pembayaran gaji pegawai negara, pemberian santunan kepada fakir miskin, pembiayaan aktivitas jihad, penanggulangan bencana, dan pembangunan infrastruktur yang dapat menimbulkan dharar jika tidak dibangun, maka kewajiban tersebut jatuh kepada kaum Muslim dalam bentuk pajak. Meskipun demikian, penarikan pajak tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya, yakni mereka yang memiliki kelebihan atas pemenuhan kebutuhan pokok dan sekundernya secara layak. Selain itu, jumlah dana yang ditarik tidak boleh melebih kebutuhan Baitul Mal dalam membiayai pengeluaran wajib tersebut di atas. Penarikan pajak juga bersifat sementara karena akan dihentikan jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi.Akan halnya zakat yang dikenakan atas penghasilan seseorang muslim maka tarifnya hanya sebesar 2,5% dari hartanya jika telah mencapai batas minimal (nishab) yakni setara nilai 85 gram emas dan telah dimiliki selama setahun. Dengan tarif zakat yang bersifat tetap (flat) tersebut maka sebanyak apapun penghasilan seseorang maka ia hanya dikenakan tarif zakat yang sama. Adapun ahlu dzimmah, orang kafir yang tinggal di dalam negara Khilafah Islam, mereka sama sekali tidak dikenakan pajak atas penghasilannya. Mereka hanya membayar jizyah sekali setahun yang nilainya ditetapkan oleh Khalifah berdasarkan pendapatan ahli bahwa nilai tersebut tidak menyusahkan ahlu dzimmah.

Demikianlah, Islam memberikan solusi atas permasalahan negara dalam mengatasi masalah pendapatan dan pengeluarannya. Seluruhnya didasarkan pada dalil-dalil syariah yang bersumber dari Allah SWT, Zat Yang Mahaadil dan Bijaksana.Konsep tersebut jelas berbeda dengan sistem Kapitalisme seperti di negara ini ketika UU termasuk APBN disusun berdasarkan hawa nafsu manusia. Akibatnya, yang terjadi adalah meluasnya praktik kezaliman Pemerintah. Di antaranya rakyat, termasuk yang miskin, dibebani berbagai bentuk pajak dan pungutan untuk membiayai negara. Di sisi lain kekayaan negara diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Pada saat yang sama, Pemerintah tak segan berkompromi dengan orang-orang kaya pelangar hukum dengan memberikan pengampunan pajak kepada mereka, tak peduli jika harta mereka diperoleh secara ilegal. 


 WalLâhu ‘alam bi ash-shawab. [sumber:Muhammad Ishaq]  


EmoticonEmoticon