Hallo rekan mahasiswa/i seperjuangan
dijalan islam, tentu kalian dengar dong tentang hot isue mengenai tax amnesty,
kalian setuju atau tidak nih, tentang peraturan pemerintah mengenai pengampunan
pajak, jika iya mengapa? dan jika tidak mengapa?, tapi jangan dijawab dulu
sebelum baca buletin yang satu ini yah, J selamat membaca
!! J
Pada tahun 2016 tepatnya di bulan juli
ini ada Pengampunan pajak (tax
amnesty) adalah penghapusan pajak yang diberikan kepada wajib pajak yang
selama ini belum pernah atau tidak sepenuhnya membayar pajak atas harta mereka
baik berupa penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan dan
sanksi pidana di bidang perpajakan dalam jangka yang ditetapkan UU. Data dan
informasi mereka juga wajib dirahasiakan pejabat terkait. Syaratnya, wajib
pajak tersebut mau membayar uang tebusan. Nilai uang tebusan tersebut
ditentukan berdasarkan nilai aset yang dilaporkan dikali dengan tarif tebusan
yang ditetapkan UU. Selain itu, jika harta yang dilaporkan tersebut berada di
luar negeri dan direpatriasi atau dibawa masuk ke Indonesia, maka harta
tersebut dikenakan tarif repatriasi yang nilainya juga ditetapkan UU.
Mengejar Setoran
Meskipun masa pemberlakukan UU
Pengampunan Pajak hanya berlaku sepanjang enam bulan pada tahun 2016,
Pemerintah memperkirakan pendapatan yang dapat diraup dari kebijakan itu dapat
mencapai Rp 165 triliun dan buktinya sampai saat ini saja pendapatan atas pengampunan
pajak kurang dari 50 miliar. Adapun dana repatriasi yang diperkirakan masuk ke
Indonesia dapat mencapai Rp 1.000 triliun. Pada APBN 2016, pendapatan pajak
ditargetkan sebesar Rp 1,546,7 triliun. Tahun lalu, dari target penerimaan
pajak sebesar Rp 1.469 triliun, yang tercapai hanya sebesar Rp 1.240 atau
sebesar 85% dari target.
Manfaat lain yang diharapkan Pemerintah
dari tax amnesty adalah masuknya dana penduduk Indonesia yang selama ini
disimpan di luar negeri. Menurut McKensey, ada sekitar USD250 miliar atau
sekitar Rp 3.250 triliun kekayaan orang-orang kaya Indonesia (High Net Worth Individuals)
yang disimpan di luar negeri. Dari jumlah itu, USD200 disimpan di Singapura
baik dalam bentuk real estate, deposito dan saham. Bank Indonesia dengan
menggunakan data Global Financial Integrity: Illicit Financial Flows Report
2015, memperkirakan nilai dana yang tidak jelas sumbernya yang berasal dari
Indonesia yang ditaruh di luar negeri mencapai Rp 3.147 triliun.Sekadar
catatan, upaya untuk meningkatkan tax ratio ini merupakan salah satu
bagian dari target Millenium Development Goals (MDGs) yang menjadi
komitmen Pemerintah Indonesia bersama sejumlah negara.Meskipun demikian, tidak
sedikit yang menyangsikan optimisme Pemerintah tersebut. Pasalnya, orang-orang
yang mendapat pengampunan pajak, meskipun dibebaskan dari segala tuntutan yang
terkait dengan pajak dan datanya dirahasiakan, mereka tidak dijamin dari
tuntutan pidana atas tindakan kriminal yang menjadi sebab kepemilikan aset
mereka. Padahal diperkirakan banyak dari dana-dana yang diparkir di luar negari
tersebut berasal dari pendapatan ilegal seperti pendapatan yang diperoleh dari
hasil korupsi, transaksi narkoba, kegiatan penangkapan ikan secara ilegal,
pertambangan ilegal, dan pembalakan hutan secara liar. Jika para
penegak hukum dapat melacak sumber pendapatan tersebut maka wajib pajak pelapor
dapat diseret ke meja hijau. Bagi para pemilik dana akan lebih aman menyimpan
dana mereka di luar negeri terutama di negara-negara yang pajaknya rendah (tax
haven) seperti Singapura. Di sisi lain, tax amnesty memberikan rasa
ketidakadilan kepada para wajib pajak yang selama ini taat dalam membayar
pajak. Kebijakan ini dapat memicu wajib pajak yang patuh untuk ikut mengemplang
pajak dengan harapan bahwa suatu saat Pemerintah akan memberikan pengampunan
kepada mereka. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia telah beberapa kali
melakukan pengampunan pajak yakni pada tahun 1964, 1984 dan 2007.
Problem Kapitalisme
Di negera-negara Kapitalisme, pajak
adalah pilar utama penerimaan negara terutama Pajak Penghasilan (PPh) orang
pribadi dan badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelum pasca
reformasi hanya pajaka penjualan sekarang menjadi pajak pertambahan nilai yang
dimna pajak dikenakan bukan atas penjualan barang atau jasa saja melainkan
penyerahan atas suatu barang atau jasa juga pun ikut kena pajak, pendapatan
perpajakan terhadap APBN mencapai sekitar 82% dari total penerimaan negara.. Di
sisi lain, porsi pendapatan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti
royalti pertambangan dan pendapatan BUMN terus turun.
Pandangan Islam
Terdapat dalil yang melarang seluruh bentuk penarikan
pajak yaitu sabda Rasulullah saw.:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا…
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram
sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini dan di bulan ini… (HR al-Bukhari
Muslim).
Hadis ini menjadi dalil atas
ketidakbolehan Pemerintah menarik pajak dalam membiayai penyelenggaraan negara.
Negara hanya mengandalkan sumber-sumber pendapatan Baitul Mal telah ditetapkan
oleh syariah seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah,
zakat (khusus untuk 8 asnaf), pendapatan dari harta milik umum dan harta milik
negara dan sebagainya. Jika sumber-sumber tersebut dikelola dengan baik maka
akan cukup untuk membiayai pengeluaran negara.Hanya saja, jika sumber
pendapatan tersebut ternyata tidak mencukupi dalam membiayai pengeluaran yang
bersifat wajib yang telah ditetapkan oleh syariah seperti pembayaran gaji
pegawai negara, pemberian santunan kepada fakir miskin, pembiayaan aktivitas
jihad, penanggulangan bencana, dan pembangunan infrastruktur yang dapat
menimbulkan dharar jika tidak dibangun, maka kewajiban tersebut jatuh
kepada kaum Muslim dalam bentuk pajak. Meskipun demikian, penarikan pajak
tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya, yakni mereka yang memiliki
kelebihan atas pemenuhan kebutuhan pokok dan sekundernya secara layak. Selain
itu, jumlah dana yang ditarik tidak boleh melebih kebutuhan Baitul Mal dalam
membiayai pengeluaran wajib tersebut di atas. Penarikan pajak juga bersifat
sementara karena akan dihentikan jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi.Akan
halnya zakat yang dikenakan atas penghasilan seseorang muslim maka tarifnya
hanya sebesar 2,5% dari hartanya jika telah mencapai batas minimal (nishab)
yakni setara nilai 85 gram emas dan telah dimiliki selama setahun. Dengan tarif
zakat yang bersifat tetap (flat) tersebut maka sebanyak apapun
penghasilan seseorang maka ia hanya dikenakan tarif zakat yang sama. Adapun ahlu
dzimmah, orang kafir yang tinggal di dalam negara Khilafah Islam, mereka
sama sekali tidak dikenakan pajak atas penghasilannya. Mereka hanya membayar jizyah
sekali setahun yang nilainya ditetapkan oleh Khalifah berdasarkan pendapatan
ahli bahwa nilai tersebut tidak menyusahkan ahlu dzimmah.
Demikianlah, Islam memberikan solusi
atas permasalahan negara dalam mengatasi masalah pendapatan dan pengeluarannya.
Seluruhnya didasarkan pada dalil-dalil syariah yang bersumber dari Allah SWT,
Zat Yang Mahaadil dan Bijaksana.Konsep tersebut jelas berbeda dengan sistem
Kapitalisme seperti di negara ini ketika UU termasuk APBN disusun berdasarkan
hawa nafsu manusia. Akibatnya, yang terjadi adalah meluasnya praktik kezaliman
Pemerintah. Di antaranya rakyat, termasuk yang miskin, dibebani berbagai bentuk
pajak dan pungutan untuk membiayai negara. Di sisi lain kekayaan negara
diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Pada saat yang sama, Pemerintah
tak segan berkompromi dengan orang-orang kaya pelangar hukum dengan memberikan
pengampunan pajak kepada mereka, tak peduli jika harta mereka diperoleh secara
ilegal.
WalLâhu ‘alam
bi ash-shawab. [sumber:Muhammad Ishaq]
EmoticonEmoticon